Sabtu, 07 Juni 2008

Iklan yang bisa menumbuhan cinta tanah air

Baru-baru ini, dalam rangka memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, ada beberapa iklan yang bisa menumbuhkan nasionalisme terhadap Indonesia.

Sebagaimanapun Indonesia, sekacau apapun Indonesia, Indonesia tetaplah negeri kita. Negeri yang harus dijunjung tinggi dan dibela.



Indomie versi Satu untuk semua


Indosat versi Cintaku untukmu Negeri



Satelindo versi Sabang sampai Merauke

Cerpen #2

Jaket Kuning

Ketika Mas Pandhu mengantarkan jaket kuning milik abang kepada kami sore itu, firasatku langsung menjadi tidak enak. Jangan-jangan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap abang. Wajah Mas Pandhu beserta beberapa teman lainnya, yang sudah kuketahui itu pasti teman abang, tidak menunjukkan raut muka yang bagus. Mereka semua muruk, dan menunduk. Mereka tidak berani menatap bapak yang saat itu sedang menerima jaket milik abang dari Mas Pandhu. Hatiku berdebar kencang, menanti berita yang akan disampaikan oleh Mas Pandhu. Aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang terburuk. Sekujur badanku menegang. Aku bangkit dari dudukku, dan berjalan ke balik tembok di dekat ruang tamu. Dari arah dapur, Ibu dan Bima berlari menghampiri bapak. Ia langsung memaksa Mas Pandhu untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada abang. Sejak tadi, Ibu terus duduk mendengar radio. Ia terus mengikuti perkembangan situasi di jalan raya. Sudah banyak mahasiswa yang terluka. Ibu memang khawatir akan abang, dia takut abang juga luka-luka. Sebenarnya ibu tidak mau abang ikut-ikutan turun ke jalan. Tadi pagi ibu sudah melarang abang keluar rumah, tetapi abang terus meyakinkan ibu kalau Ia akan baik-baik saja. Walaupun begitu, ibu tetap melarangnya dan malah menyuruhnya masuk ke kamar. Aku dan Bima disuruh menunggu di depan kamarnya, takut kalau abang kabur. Namun, ternyata abang tetap saja kabur dari jendela.

“Pandhu, mana Danu?” teriak Ibu sambil menangis.

“Danu...”

“Danu kenapa?!” tanya Ibu lagi.

“Bu, tenang dulu! Biar Pandhu bicara.” kata bapak menenangkan ibu.

Pandhu berdeham sebelum melanjutkan.

“Ji, kamu aja deh.” bisik Mas Pandhu menyuruh Mas Aji yang menjelaskan pada ibu.

“Begini, Bu. Danu..sudah meninggal. Tadi siang wak—“ kalimat Mas Aji terputus dengan jeritan histeris ibu dan ibu langsung pingsan. Tiba-tiba ada suatu perasaan yang aneh melandaku. Ternyata firasat tidak enakku benar. Abangku sudah enggak ada. Rasanya aku ingin jatuh. Lututku bergetar. Aku melihat bapak dan Bima menggendong ibu ke kamar. Mas Pandhu bersama teman-temannya terdiam. Mereka seperti sudah memperkirakan bahwa kejadiannya akn terjadi seperti ini. Aku memberanikan diri untuk menghampiri mereka, untuk mengetahui lebih lanjut tentang peristiwa itu, walaupun mataku sudah merah.

“Bagaimana kejadiannya?” tanyaku.

“Tadi siang kami menyerbu MPR. Kami berebutan melompati gerbang dan melewati aparat yang menjaga di depan. Danu ternyata tertinggal di belakang, dan dia sempat terinjak-injak massa. Dia tidak bisa bernafas dan...yah..”

Aku mengangguk, memberikan tanda pada Mas Pandhu bahwa aku mengerti apa yang dia maksud. Aku tidak percaya. Kesempatanku yang terakhir bertemu abang adalah tadi pagi. Aku benar-benar tidak menyangka. Abang akan pegi secepat ini. Dia adalah sosok yang berani dan selalu aku jadikan panutan. Tidak lama setelah itu, aku dan bapak bersama Mas Pandhu pergi ke rumah sakit untuk melihat jasad abang. Bima tetap di rumah menemani ibu yang masih belum siuman. Tidak ada satupun orang yang berbicara di mobil. Semuanya membisu, pikiran kalut. Dari luar jendela mobil, aku bisa melihat situasi jalan yang masih kacau walaupun sudah malam. Beberapa fasilitas jalan telah rusak. Ibu kota seakan-akan menjadi kota mati. Dan abangku, adalah salah satu korban. Saat di rumah sakit, aku melihat tubuh abang yang sudah terbujur kaku. Semua luka sudah dibersihkan. Bapak mencium kening abang, dan aku bisa melihat bibirnya mengucapkan “Selamat jalan, anakku.” Kami semua telah merelakannya untuk pergi walaupun sangat berat rasanya. Terlintas di benakku saat aku bermain bersama abang. Dia-lah yang mengajarkan aku banyak hal selain kedua orangtuaku. Dia mengajari aku berenang dan naik sepeda, dan dia suka memainkan gitar untuk aku dan Bima. Dia mengajarku untuk sopan santun, selalu mengucapkan terima kasih dan tidak malu untuk meminta maaf. Dialah abang terbaik yang pernah aku dan Bima miliki. Air mataku menetes saat kami semua mendoakan abang agar dia bahagia disana. Anak kesayangan ibu itu telah pergi. Ia mati karena tujuan yang mulia, menegakkan keadilan di dunia ini.

Jaket kuning itu kini hanyalah saksi bisu atas semua peristiwa yang menimpa abang siang itu. Setiap kali ibu merindukan abang, Ia akan menggunakannya. Bukan hanya ibu, tetapi aku juga. Ibu juga rajin mengunjungi makam abang di Kalibata. Apalagi saat hari ulangtahun abang. Ia akan menaruh bunga yang indah diatas makamnya. Selang beberapa tahun berlalu, aku pun telah menjadi seorang mahasiswi. Aku berhasil masuk ke universitas tempat abangku menimba ilmu dahulu. Ibuku tidak berhenti berpesan padaku untuk tidak ikut serta dalam demonstrasi mahasiswa jika suatu hari dilakukan demonstrasi massal. Ibu masih trauma akan abang. Aku tau. Tugasku sekarang adalah meneruskan impian abang, menjadi seorang dokter. Aku akan berusaha menjadi dokter yang sukses, supaya jika abang melihatku dari atas sana, dia akan bangga, bahwa dia punya adik yang berbakti pada negeri.

Minggu, 01 Juni 2008

I'm BACK!

Hei...!!!

today, 2 June 2008

Gue baru balik dari Live-in di Jogja sana. Banyak bangeeeeeet pengalaman baru yang oke yang gue dapet disana. Tapi banyak juga hal yang membuat gue iri pada teman-teman gue.

Hmm..

nanti saja gue masukkan ke sini

kalau udah gue jadiin jurnal (tulisan + foto)