Rabu, 30 Juli 2008

Coming Soon movie!


High School Musical 3

Sukses dengan sekuel keduanya, Disney Channel membuat lagi versi ketiga dari film yang bergenre musikal ini. Film yang dikemas secara menarik dengan lagu-lagu baru, koreografi, akting dan cerita yang sederhana tetapi manis membuat para penggemarnya selalu menantikan kelanjutan dari kisah remaja ini.

Untuk yang ketiga kalinya, peran utama masih dipegang oleh Zac Efron (sebagai Troy Bolton) dan Vanessa Anne Hudgens (sebagai Gabriella Montez). Sempat sebelumnya beredar rumor bahwa peran Vanessa akan digantikan oleh orang lain karena sebuah kasus yang menimpa gadis cantik ini, tetapi pada akhirnya Disney tetap memutuskan dia untuk mengambil peran itu.

Dan untuk pertama kalinya juga serial TV ini diangkat ke layar lebar. Semua pihak yang terlibat di dalam pembuatan film ini berharap bahwa versi ketiga dari High School Musical tetap laris atau bahkan lebih laris karena ditayangkan di layar lebar.

Siap-siap saja untuk melihat kejutan-kejutan menarik di East High, dimana Troy Bolton dan teman-teman menikmati Senior Year mereka.

Coming Soon in Theaters on October 24, 2008.


Cerpen #3

Tanpa (Dia)

Ternyata memang benar. Menjadi seorang single parent bukanlah hal yang mudah, apalagi di usia muda. Aku masih berumur 23 tahun dan sudah harus menghidupi Daud yang tahun ini genap berusia 6 tahun, dengan jerih payahku sendiri. Aku masih kuliah, tetapi aku juga bekerja di bengkel milik seorang teman. Semuanya itu memang pas-pasan untuk menghidupi kami berdua, tetapi aku bersyukur memiliki teman-teman yang baik dan bersedia menolong.

Keadaan ini memang tidak diharapkan. Aku benar-benar membuat kesalahan besar terhadap pacarku. Saat itu kami sedang mabuk sehabis pesta kelulusan SMU bersama teman-teman lain. Dalam keadaan setengah sadar setengah tidak, aku membawanya ke hotel. Lalu, kami melakukan itu. Aku pikir tidak akan terjadi apa-apa. Namun, beberapa minggu kemudian, pacarku menelpon dan mengatakan kalau dia hamil. Oh Tuhan, aku mau gila. Kami baru lulus SMU. Padahal aku menganggap aku sudah bebas dari masalah-masalah tidak penting selama di sekolah, tetapi aku malah menghadapi yang lain. Bahkan jauh lebih besar.

Aku dimaki habis-habisan oleh ayah pacarku. Dia menyuruhku untuk bertanggung jawab atas perbuatanku. Setelah bayi itu lahir, dia menyerahkannya kepadaku dan menyuruhku untuk merawatnya. Dia tidak mau menikahkan aku dengan anaknya dengan alasan perbedaan etnis. Lalu, mereka sekeluarga pindah ke luar negeri dan aku tidak mendengar tentang mereka lagi hingga sekarang.

Sejak Daud lahir, aku dibantu ibuku untuk merawatnya. Rumah kami tidaklah besar. Aku juga bukan orang kaya, terlalu sederhana malah. Itu juga merupakan salah satu alasan mengapa ayah pacarku tidak mau menerimaku sebagai menantunya. Mereka memang keluarga yang kaya raya.

Sedikit demi sedikit aku belajar untuk merawat Daud sendiri. Aku belajar membuatkan susu, aku belajar memandikan dan memasangkan pakaiannya, aku mengajarinya berjalan dan berbicara, aku belajar menjadi orangtua yang baik.

Awalnya, aku cukup tertolong oleh bantuan Ibu. Setidaknya aku masih bisa menjalankan kehidupan normal-ku sebagai seorang mahasiswa. Aku tidak perlu bingung siapa yang akan menjaga Daud saat aku kuliah. Tetapi semuanya berubah setelah kejadian beberapa bulan yang lalu. Ibuku meninggal dunia karena penyakit jantungnya. Hal itu menjadikan Daud sebagai tanggunganku seratus persen. Di dalam segala kekalutanku itu, Sisil muncul sebagai seorang dewi penolong. Sahabatku itu bersedia menolongku. Dia akan membantuku merawat Daud.

“Apa enggak ngerepotin kuliah lo, Sil?” tanyaku tidak yakin dengan keputusan Sisil.

“Enggak. Kalau kita sama-sama kuliah, dia bisa dititipin di rumah gue. Semua anggota keluarga gue kan sudah kenal baik sama lo, mereka juga mau menerima Daud. Tenang sajalah,” jawab Sisil. Cukup melegakan hatiku.

“Terima kasih banyak ya. Maaf, gue cuma bisa ngerepotin,” aku hanya bisa berkata seperti itu. Aku begitu terharu karena masih ada orang yang peduli denganku.

“Gie, kita kan udah lama temenan. Masalah lo itu masalah gue juga. Udahlah, lo sama sekali enggak ngerepotin. Oke?”

Sungguh, aku tidak tau apa jadinya hidupku kalau tidak ada Sisil.

***

Hari ini aku bekerja seperti biasa. Pelanggan sedang banyak, sehingga aku lebih sibuk daripada biasanya. Aku terpaksa menunda makan siangku karena ada mobil pelanggan yang harus diselesaikan secepatnya, padahal perutku sudah keroncongan.

“Papa!”

Tiba-tiba suara itu mengagetkan aku. Dari bawah kolong mobil, aku melihat Daud sedang berlari masuk bengkel dimana Sisil mengikutinya dari belakang.

“Papa mana?” katanya.

“Coba kamu cari di kolong deh, Papa kamu kan suka ngumpet disana,” jelas Sisil.

Daud menuruti Sisil. Dia melongok ke bawah setiap kolong mobil. Aku sengaja tidak mau memunculkan diri supaya dia yang menemukan aku.

“Kok enggak ada sih, Kak?”

“Masa? Coba cari lagi.”

Daud melanjutkan pencariannya. Langkahnya semakin dekat dengan keberadaanku, hingga akhirnya..

“Hayo!” teriakku saat Daud melongok ke bawah kolong mobil yang sedang aku betulkan.

“Kak! Ketemu! Sini!” Daud memanggil Sisil dengan girang untuk menghampiriku. Aku menghentikan pekerjaanku, keluar dari kolong dan bangkit berdiri. Daud berlari dan mengangkat kedua tangannya. Dia pasti minta digendong.

“Papa kotor, Wud,” kataku

“Aku juga mau! Nanti kan bisa mandi.”

Daripada dia menangis, aku harus menurutinya.

“Duh Daud, Papa kamu kan kotor!” seru Sisil.

“Enggak apa-apa, Kak! Aku bisa mandi lagi,” jawab Daud dengan gaya bicara manjanya.

Sisil memberikan aku sapu tangan untuk membersihkan keringatku.

“Makasih, Sil.”

“Lo udah makan?”

“Belom.”

“Kok belom? Ini udah jam 3 lho.”

“Pelanggan gue hari ini banyak.”

“Apa salahnya cuma makan 15 menit? Aneh-aneh aja lo. Katanya punya maag.”

“Iya Papa, nanti sakit lagi lho kayak kemarin.”

Minggu lalu sakit maagku sempat kambuh karena terlambat makan. Aku keasyikan membetulkan mobil lamaku supaya bisa mengajak Daud keliling Jakarta.

“Mana Remon?” tanya Sisil.

“Ada di dalam. Kenapa?”

“Mau minta ijin ngajak lo makan sekarang. Remon!”

“Ah, enggak usahlah, Sil. Enggak enak!”

“Siapa tadi yang manggil gue?” enggak lama kemudian Remon dengan keadaan yang tidak berbeda jauh denganku, sama-sama kotor.

“Gue. Eh, si Nugie belom makan nih. Gue ajak makan dulu ya. Kasian entar kalo sakit, dia enggak bisa kerja, elo sendiri yang rugi,” jelas Sisil.

“Lo belom makan, Gie? Wah, kalau maag lo kambuh jangan salahin gue. Gue enggak pernah maksa lo selesaiin kerja dulu baru makan.”

“Iya, iya. Ini kemauan gue sendiri.”

“Ya udah sana. Eh, ada Daud.”

Remon melayangkan tos ke Daud, dan Daud membalasnya. Senangnya, Daud juga bisa akrab dengan teman-temanku. Setelah itu aku pergi dengan Sisil ke sebuah warung soto. Rasanya makan dua mangkok saja tidak cukup. Akhirnya untuk memenuhi nafsu laparku, aku harus memesan tiga porsi. Aku tidak peduli dengan tatapan heran Daud dan Sisil di seberang sana.

“Lo laper apa doyan sih?”

“Laper, Sil! Kan aku enggak makan dari pagi.”

“Pantesan.”

“Papa makannya pelan-pelan aja. Nanti tersedak loh.”

“Siip, Bos!” kataku menanggapi. Lucu saja, Daud baru 6 tahun tapi sudah pintar mengomentari.

Setelah itu, aku buru-buru menyelesaikan pekerjaanku agar aku bisa cepat pulang dan bermain dengan Daud. Kami suka main layang-layang. Dari kecil, aku sudah terbiasa membuat layang-layang sendiri. Sewaktu SD dulu, aku masih tinggal di desa di Jogja, jadi aku bisa bermain di lapangan luas. Tapi sekarang, tidak bisa sebebas dulu karena lahan yang terbatas. Tetapi aku bisa menyenangkan hati Daud dengan membuat layang-layang bergamba tokoh kartun kesukaannya, Spongebobsquarepants. Kami menghabiskan sepanjang sore dengan bermain layang-layang. Setelah makan makan malam, aku mengajak Daud untuk berbaring di halaman rumah dengan beralakan tikar. Di atas sana bintang-bintang bertabur dengan indahnya dan bulan pun juga tidak mau kalah menampakkan sinarnya.

“Bintangnya banyak, Pa!” kata Daud. Jari-jari kecilnya digerakkannya seperti seakan-akan mau mengambil sebuah bintang.

“Papa bisa ambilin aku satu bintang enggak?”

“Enggak bisa dong, Wud. Bintang kan jauh. Tapi Papa bisa bikinin bintang kalau kamu mau.”

“Ah, aku mau yang asli. Enggak mau yang dari kertas. Aku udah punya banyak, dikasih sama Gilang.”

“Gilang, tetangga kita?”

“Iya. Katanya dia, di sekolahnya selalu diajarin gambar. Pa, aku juga mau sekolah.”

Kata-kata Daud barusan membuatku terdiam. Selama ini memang aku sudah berusaha untuk membahagiakannya, tapi aku belum bisa memberikannya hal itu. Aku belum punya cukup uang untuk menyekolahkannya. Sekolah sekarang kan mahal.

“Nanti ya, Wud. Kamu pasti juga bisa sekolah, sama kayak Gilang.”

“Kapan Pa? Aku juga pengen belajar gambar kayak Gilang!”

“Iya, Papa tau. Tapi enggak sekarang. Kamu sabar aja ya.”

“Ck, aaah.” Daud mulai ngambek. Dia memang anak yang gampang ngambek. Tapi gampang juga untuk baik lagi.

“Papa, bintang mama yang mana?” tanya Daud dengan pertanyaan lain. Dari sejak kecil, aku mengatakan padanya bahwa mamanya sudah menjadi bintang diatas sana. Aku tidak mau memberitahu bahwa mamanya masih ada tetapi ada di luar negeri. Aku tidak mau dia terus memaksaku untuk bertemu dengannya, karena aku tidak mungkin mengejarnya ke luar negeri. Lagipula aku sudah dilarang bertemu dengan dia. Aku pun mengarang cerita aneh untuk meyakinkan Daud. Aku bilang padanya bahwa karena mamanya adalah wanita cantik, maka dia diutus dewa untuk menjadi salah satu bintang untuk memperindah bumi. Dan aku berhasil membohonginya.

Aku menunjuk ke salah satu bintang yang berada tepat di atas Daud.

“Yang itu. Lagi terang kan? Itu tandanya Mama lagi menyapa kamu diatas sana. ‘Hai Daud, kamu lagi apa?’”

“Kok Papa tau Mama ngomong kayak begitu?”

“Kan Papa ngerti bahasa bintang.”

“Oh ya? Ajarin aku dong.”

“Enggak bisa. Kamu masih kecil, jadinya pasti enggak ngerti kalau Papa ajarin juga. Soalnya yang ngerti itu cuma orang dewasa. Nanti kalau kamu udah besar, kamu juga pasti ngerti kok. Jadi sekarang Papa kasih tau kamu aja Mama ngomong apa, oke?”

“Ya udah. Tadi Mama ngomong apa, Pa?”

“Dia nanya kamu lagi apa.”

“Bilangin aku lagi ngeliat Mama dari sini sama Papa.”

Aku pura-pura berkomat-kamit, seakan-akan mengatakan sesuatu pada si bintang.

“Udah Papa bilangin.”

“Terus, Mama jawab apa?”

“Dia bilang ‘Mama juga lagi ngeliatin kamu. Kamu makin ganteng aja ya’.”

“Bilangin Mama juga cantik. Aku pengen liat muka Mama sebelum jadi bintang dulu, pasti cantik deh. Kayak peri.”

Di dalam lubuk hatiku, aku merasa sedih dan kasihan terhadap anak ini. Jika tidak diberitahu tentang kebenarannya, selamanya dia akan mengira ibunya telah tiada. Tetapi untuk menghindari segala ketidakinginan itu, aku berencana akan tetap tutup mulut, hingga nanti dia sudah cukup dewasa untuk mengetahui yang sebenarnya.

“Mama bilang ‘Daud, kamu tidur dong. Sudah malam’.”

“Aku juga udah ngantuk.” Daud menguap, dan tidak lama kemudian, dia sudah tertidur pulas disebelahku. Aku menggendongnya ke ranjang dan ikut berbaring disana. Gara-gara Daud membicarakan tentang mamanya, aku juga jadi teringat Ibu. Kupejamkan mataku dan mulai membayangkan Ibu yang sudah ada di atas sana.

“Ibu, aku kangen…”

***

Esoknya, aku harus menemani Sisil mencari kado untuk ulangtahun abangnya. Kami memutuskan untuk pergi ke sebuah mall setelah kuliah. Dengan bangga, aku menyuruh Sisil untuk ikut naik mobil lama-ku yang sudah kuperbaiki.

“Gimana, asyik kan ngerasain mobil lama?”

“Oke sih, tapi panas!”

“Ini mobil Bokap gue dulu, wajarlah kalau panas.”

Setelah sampai di mall, Sisil langsung menarikku ke toko baju. Karena ukuran tubuhku sama dengan ukuran abangnya, maka akulah yang dijadikan model. Dia sengaja menabung untuk keperluan ini, maka dia bisa membeli lebh dari satu barang. Ada baju, sepatu, dan sebuah novel tebal entah apa judulnya.

Sepertinya dia memang ingin membuat abangnya memberikannya perhatian lagi padanya, karena setelah Bang Riko punya pacar, Sisil seperti terabaikan.

“Coba liat, hadiah siapa yang paling oke. Punya gue, atau punya pacarnya Bang Riko?”

“Pasti punya lo lah. Lo kan adiknya. Bagaimanapun juga, pemberian keluarga lebih berharga.”

Ternyata aku juga mendapatkan bagian. Dia membelikan aku dan Daud baju baru. Padahal aku sudah menolaknya, tetapi dia tetap memaksa. Aku terima saja. Lumayan, menambah koleksi baju-ku yang tidak sebanyak baju Sisil.

Sehabis lelah berbelanja, Sisil minta diantarkan ke salon. Inilah hal yang paling kubenci kalau Sisil mengajakku ke mall. Dia selalu menjadikan salon sebagai tempat terakhir yang wajib dikunjungi sebelum pulang ke rumah. Dia asyik mani-pedi, sedangkan aku harus bosan menunggu. Karena tidak mungkin membiarkan dia pulang sendiri dengan barang yang begitu banyak, maka aku tidak bisa kabur. Aku memutuskan untuk pergi ke toko kaset. Hanya sekedar cuci mata, siapa tau bertemu barang bagus dan aku bisa membelinya. Kuperhatikan satu per satu, mencari album baru salah satu band favoritku, Gooday. Dari berita yang kubaca di majalah, dekat-dekat ini Gooday akan merilis album ketiga mereka. Sebagai penggemar sejati, aku merasa wajib membeli kaset mereka yang asli. Wah! Ternyata ada! Dengan girang aku mau mengambilnya, tetapi di saat bersamaan, ada juga orang yang mau mengambilnya. Aku menoleh ke arah orang yang juga mau mengambil kaset itu. Tiba-tiba aku terdiam. Sekejap jantungku berdebar kencang. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku yakin mataku tidak salah. Orang itu adalah Sabrina. Dialah mantan pacarku. Dialah ibunya Daud.

Mulutku terasa berat untuk dibuka. Aku canggung di depannya. Ini benar-benar diluar dugaan! Aku tidak pernah bermimpi untuk bisa bertemunya lagi. Dia pun sama denganku. Terdiam dan tidak percaya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mencoba membuka mulut dan bicara.

“Ka..kamu saja yang ambil CDnya,” kataku canggung. Aku merasa bodoh.

“Oh, enggak usah. Kamu saja,” jawabnya, sama-sama canggung.

“Enggak apa-apa. Kan ladies first.” Lagi-lagi kalimat bodoh terucap.

“Beneran enggak apa-apa?”

“Iya.”

“Kalau begitu terima kasih.”

Sabrina mengambil CD itu dan menggenggamnya. Setelah itu, kami terdiam lagi. Tidak ada satupun dari kami yang beranjak. Kami tetap berdiri berhadapan. Ada sesuatu yang membuat kami tidak mau pergi.

“Suka Gooday juga ya?” tanyaku, mencairkan suasana tegang.

“Iya. Kan kamu yang ngenalin musik mereka ke aku dulu.”

Entah perasaan apa melandaku saat ini. Dia masih mengingat sepenggal masa waktu kami pacaran dulu. Memang, sejak SMU aku suka sekali Gooday. Memang aku yang pertama kali mendengarkan musik Gooday saat kencan pertamaku dulu. Ternyata dia langsung menyukainya juga.

“Ehm, kamu ada waktu? Kita..ngobrol di kafe..”

“Oh, oke. Aku bayar dulu ya.”

Sabrina berjalan ke kasir untuk membayar. Aku sudah tidak tahan lagi untuk mengetahui kabarnya. Dimana dia tinggal, bagaimana kuliahnya, bagaimana keluarganya, apakah dia sudah punya pacar lagi atau belum, dan aku ingin menceritakan tentang Daud. Dia hanya melihatnya sebentar saat Daud masih bayi, padahal dia adalah ibunya. Aku ingin bercerita banyak padanya. Kami langsung pergi ke sebuah kafe yang masih berada di mall itu, memesan minuman, lalu mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol panjang.

“Kamu apa kabar?” kini giliran Sabrina yang memulai pembicaraan.

“Baik. Kamu sendiri?”

“Sama.”

Empat tahun berada di luar negeri, membuatnya banyak berubah. Dia jauh lebih cantik daripada sewaktu SMU dulu. Wajahnya terlihat lebih dewasa. Sekarang rambutnya sudah panjang dan indah. Kulitnya tetap putih dan bersih. Aku paling suka dengan matanya. Berwarna coklat dan menggoda. Sungguh beruntung aku pernah menjadi pacarnya dulu. Dan, dia tetap wangi.

“Kamu masih kuliah?”

“Masih. Tapi sudah mau selesai. Aku juga kerja di bengkelnya teman kuliahku.”

Sabrina mengangguk, menandakan dia mengerti. “Aku juga masih kuliah.”

“Kalau boleh tau, selama ini kamu tinggal dimana? Tenang aja, aku enggak akan mengejar kamu sampai ke sana kok. Aku cuma pengen tau.” Aku merasa seperti orang yang paling merana di dunia ini.

“Aku di Kanada,” jawabnya sambil mengambil gelas lemon tea-nya lalu meminumnya. Saat itu aku melihat sebuah cincin melingkar di jari manis tangan kanannya. Nyaliku langsung menciut. Ternyata dia sudah mendapatkan penggantiku, yang pasti merupakan laki-laki sempurna.

“Sab, kamu sudah menikah?” aku memberanikan diri bertanya. Sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda. Aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk bertanya semua tentang dirinya. Sabrina kaget, dan secara refleks memegang cincin itu. Dia terlihat bingung harus menjawab apa.

“Belum, aku baru tunangan,” katanya. Aku mendengar suaranya mulai bergetar. Dia sudah tidak mau memandangku lagi. Dia memilih untuk melayangkan pandangan ke gelas lemon tea-nya. “Dengan anaknya teman kerja Papa.”

“Selamat ya. Aku yakin kamu pasti bahagia.” Aku mengulurkan tanganku untuk memberinya selamat. Dia tidak menyambutnya. Dia hanya mengangguk sambil membuang muka. Dia pasti sedang menahan agar tidak menangis di hadapanku. Aku sudah tau gelagatnya. Dari dulu dia tidak mau terlihat cengeng di hadapanku. Aku pun tidak memaksanya untuk menyambut tanganku.

“Aku…cuma mau bilang, Daud kangen sama kamu.”

“Daud?”

“Nama anak kita.”

Sekarang dia memberanikan diri untuk memandangku. Sepertinya dia sudah tidak peduli dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.

“Dia bagaimana kabarnya? Sudah besar ya? Sudah kelas berapa? Dia nakal enggak? Dia—“

“Dia baik-baik saja. Tahun ini dia berumur 6 tahun, dia sama sekali enggak nakal, dan dia belum sekolah. Aku belum punya cukup uang untuk menyekolahkannya. Sekarang aku sedang menabung untuk menyekolahkannya.” Aku berusaha untuk menjawab semua pertanyaan Sabrina.

“Kamu belum menyekolahkannya?” Sabrina meninggikan suaranya.

“Maaf. Tapi aku sudah janji, secepatnya dia pasti bisa sekolah.”

Sabrina mengambil tas-nya dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. Akhirnya dia memberikanku secarik kertas notes dengan sebuah bolpoin.

“Beri aku alamatmu, biar aku yang membayar sekolahnya. Tahun ini dia sudah harus bisa sekolah,” katanya tajam. “Aku hanya bisa melakukan itu untuknya,” Sabrina menambahkan dengan pelan.

“Ya, tapi jasamu jauh lebih besar. Kamu mengabulkan mimpinya untuk sekolah.”

Sabrina memandangku lagi, dan menyuruhku untuk menulis.

“Alamatku masih sama dengan dulu,” kataku seraya menyerahkan kertas berisi alamatku pada Sabrina.

Kami terdiam lagi. Rasanya berbeda. Dulu kami bisa mengobrol dengan lancar, saling bercanda tanpa ada kecanggungan. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu.

“Gie, bagaimana kabar ibumu?”

“Ibu sudah meninggal. Beberapa bulan yang lalu tepatnya, karena jantung,” jawabku. Sabrina terbelalak kaget. Dia pernah bertemu dengan ibuku beberapa kali, dan dia menyukainya, begitu pula dengan ibuku.

“Maaf, aku enggak tau.”

“Enggak apa-apa.”

“Kalau orangtuamu sendiri?”

“Mereka juga baik-baik saja. Tapi aku sedikit sebal dengan Mama, dia terlalu heboh dengan pesta pernikahanku.”

Aku hanya mengangguk dan tersenyum memaksa. Baguslah, dia pun bisa bahagia.

“Aku mau melihat wajahnya.”

“Ya?”

“Aku mau melihat Daud, bisa?” tanyanya semangat.

“Bisa-bisa.” Aku senang sekali akhirnya dia bisa melihat Daud yang sudah beranjak besar, meskipun Daud tidak akan tau bahwa Sabrina adalah ibunya. Karena perasaan girangku itu, aku jadi lupa dengan Sisil. Aku takut dia sudah terlalu lama menunggu di salon dan memarahiku. Cepat-cepat kuambil handphone ku untuk meneleponnya. Tetapi aku langsung melihat ada sebuah pesan.

From : Sisil

Gw plg sndiri aj. Lo antr Sabrina plg!

Aku bingung mengapa dia bisa mengatakan seperti itu. Mungkin tadi dia sempat mencariku, dan menemukan aku sedang mengobrol dengan Sabrina di kafe. Nanti saja aku tanya padanya kalau sudah sampai di rumah.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, kami diam. Aku menyalakan tape agar sedikit meredakan kesunyian.

“Kamu kepanasan ya?” tanyaku, menyadari sepertinya Sabrina tidak terbiasa dengan mobil tanpa AC.

“Sedikit, tapi enggak apa-apa.” Ia membuka kaca mobil agar angin dari luar masuk. Aku pun mengikutinya.

“Sab, kamu disini tinggal dimana?”

“Di hotel.”

“Lagi libur ya?”

“Bukan juga sih. Kemarin lusa ada sepupuku yang menikah. Aku mewakili keluargaku. Orangtuaku enggak ada yang bisa datang, jadi aku sendirian ke sini. Sekalian mau main, sudah lama.”

Untunglah dia tidak membawa tunangannya, aku bisa tidak tenang.

Kami memasuki kawasan rumahku yang jauh dari pusat keramaian kota. Aku harus pergi mengambil Daud di rumah Sisil yang bertetangga denganku. Aku mengawasi Sabrina yang tampaknya sedang memperhatikan kondisi rumahku yang berbeda 180 derajat dengan punyanya. Sepertinya rumahnya telah dijual sehingga dia harus menginap di hotel. Tidak lama kemudian, datanglah Sisil bersama Daud. Aku langsung menggandengnya. Sisil hanya melongok untuk melihat Sabrina dari jauh, dan tidak berniat untuk menghampirinya.

“Dasar orang kaya,” katanya dengan nada mencibir. “Hebat juga ya lo, bisa ngedapetin dia dulu.”

“Dia cuma masa lalu gue.” Aku mendekatkan bibirku ke telinga Sisil agar Daud tidak bisa mendengar. “Gue mau cerita banyak sama lo, tapi kayaknya nanti aja deh.”

“Soal dia?”

“Siapa lagi?”

“Oke.”

Aku pun mengajak Daud pergi menghampiri Sabrina.

“Papa, itu siapa?” tanyanya.

“Dia ini teman Papa.”

“Temannya Kak Sisil juga?”

“Iya.”

“Namanya siapa?”

Sebelum aku memanggilnya, Sabrina sudah menoleh ke arah kami. Pandangannya terpaku pada Daud, yang saat itu juga sedang membalas menatapnya dengan wajah polos.

“Papa, namanya siapa?” tanyanya lagi.

Sabrina berjongkok untuk dapat menyamakan tingginya dengan Daud. Matanya berkaca-kaca.

“Kamu Daud ya?”

“Iya. Kakak siapa?”

“Namaku Sabrina.” Sabrina mengulurkan tangannya, Daud pun membalasnya tanpa harus disuruh.

“Kakak temannya Papa ya?”

Sabrina pun mengangguk. Aku tau pasti dalam hatinya dia ingin sekali mengatakan bahwa dialah ibunya. Tapi, semuanya itu tidak bisa terwujud karena larangan ayahnya.

“Papa, dia cantik,” seru Daud sambil melihat ke arahku.

“Oh ya? Terima kasih. Boleh enggak aku peluk kamu?” tanya Sabrina. Tanpa menunggu jawaban Daud, Sabrina langsung mencium pipi Daud dan memeluknya. Dia tidak kuasa menahan tangisnya. Pasti semua rasa kerinduannya terhadap anaknya itu sedang ditumpahkannya. Bagaimana tidak, seorang ibu yang belum sempat menggendong atau bahkan memeluk anaknya sendiri tetapi sudah harus berpisah dengannya selama bertahun-tahun. Aku juga tidak bisa menahan rasa haru-ku. Secara tidak langsung, keluarga kami telah bersatu, walaupun tidak untuk selamanya. Aku bahkan bisa mendengar Daud berkata “Kakak, kenapa menangis?” kepada Sabrina. Tapi Sabrina tidak menjawab. Dia seperti tidak mau melepaskan pelukannya. Dia ingin terus memeluk Daud.

***

“Besok Daud ulang tahun,” kataku pada Sabrina saat kami duduk di teras rumah. Daud sedang asyik bermain dengan mobil-mobilannya di pekarangan rumah sehingga dapat kupastikan dia tidak bisa mendengar kami.

“Aku mau merayakannya, selama aku masih disini.”

“Memangnya kapan kamu mau kembali?”

“Lusa.”

Sabrina tidak melepaskan pandangannya dari Daud. Dia begitu menginginkannya. Dia ingin selalu membawa Daud di sisinya.

“Aku mau jadi ibu yang baik, sehari aja.”

Lalu dia menatapku. Mata indah itu kini menjadi sembab.

“Seandainya aja aku boleh menikah sama kamu, pasti enggak akan terjadi seperti ini.”

Dulu kami merupakan pasangan yang tidak terpisahkan. Hubungan selama 3 tahun itu membuat kami semakin kompak dan saling menyayangi. Teman-teman menjulukki kami sebagai pasangan ter-mesra saat di SMU. Aku benar-benar menyukai dan mencintai Sabrina apa adanya. Saat itu aku sudah menganggap hubungan kami sebagai hubungan yang serius, bukan main-main.

“Itu sudah berlalu, Sab. Kita enggak akan pernah bisa memutar waktu. Kita cuma bisa menjalani hari ini dan hari esok, bukan kemarin.”

Sabrina diam. Lalu dia melanjutkan bicara tanpa memandangku “You know what? You’re the best man that I have ever met.”

“Kakak! Sini deh,” teriak Daud sambil melambaikan tangannya memanggil Sabrina.

“Ada apa?”

“Ini buat Kakak. Pasti Kakak tambah cantik deh,” kata Daud seraya menyelipkan setangkai bunga kamboja yang ada di halaman rumah kami ke sela telinga Sabrina. “Tuh kan, bener.” Lalu dia menggandeng tangan Sabrina dan membawanya ke arahku.

“Papa! Liat deh, Kak Sabrina cantik kan? Kayak peri!” serunya. “Pa, mamaku secantik dia enggak?”

Aku tidak tau harus berkata apa. Aku menatap Sabrina, dia juga menatapku. Aku tersenyum pada Daud.

“Iya, Sayang.”

***

“Gue emang ngeliat lo waktu lo lagi di kafe sama Sabrina.”

Setelah aku mengantarkan Sabrina pulang ke hotelnya, aku mengobrol dengan Sisil di rumahnya. Seharian penuh, Sabrina bermain dengan Daud. Daud mengajaknya bermain layang-layang, sedangkan aku memilih untuk menontonnya saja. Setidaknya, Daud bisa merasakan bermain dengan ibu kandungnya walaupun dia tidak mengetahui itu.

“Terus gue tau, gue enggak mungkin memanggil lo, jadinya gue SMS lo aja. Tapi kok lo bisa ketemu dia sih? Gimana ceritanya?”

“Jadi waktu lo tadi lagi di salon, gue ke toko kaset. Gue nyari albumnya Gooday, ternyata ketemu. Pas gue mau ambil, dia juga mau ambil, ketemu deh.”

“Secara enggak sengaja ya? Emang jodoh lo berdua.”

“Gue bener-bener enggak tau harus ngapain. Gue canggung.”

“Yep, I know.”

“Dia udah mau tunangan.”

“Oh ya? Sama siapa?”

“Anak temen bokapnya.”

“Yang pastinya orang kaya juga kan?”

“Mungkin.”

“Ah, udahlah. Ganti topik aja.”

“Besok Daud ulangtahun, terus Sabrina ngajak gue dan Daud ke Dufan.”

“Bagus dong. Berarti kalian sekeluarga bisa bersenang-senang.”

“Tapi kan lo udah janji mau traktir Daud makan pizza.”

“Pentingan mana, ditraktir teman papanya atau diajak ke Dufan sama mamanya sendiri?”

“Iya sih.”

“Traktir pizza itu kapan aja juga bisa, Gie. Tapi yang namanya ke Dufan sama mamanya itu kapan lagi?”

“Enggak apa-apa kan enggak jadi?”

“Iya, enggak apa-apa. Besok sekalian gue bilangin Remon lo enggak bisa masuk.”

“Sil, lo oke banget tau enggak. Terima kasih banyak.”

“That’s what friends are for.”

Besok pasti akan menjadi ulangtahun paling indah buat Daud, karena aku dan Sabrina bisa ada di sampingnya.

***

“Wud, kamu udah selesai belum? Kak Sabrina sebentar lagi udah mau sampai lho.”

Aku sengaja tidak memberikan ucapan selamat ulangtahun pada Daud dulu. Aku sudah merencanakan moment yang pas dengan Sabrina dimana kami akan sama-sama mengucapkannya. Tidak lama, Daud datang dengan pakaian bermain yang lengkap. Berkat Sisil, sekarang Daud sudah bisa berpakaian sendiri.

“Siap, Bos!” teriaknya di hadapanku.

“Oke, ayo Kapten, kita berangkat.” Aku menggandeng tangannya untuk menunggu di luar rumah.

“Kak Sisil ikut enggak?”

“Hari ini Kak Sisil ada ujian, jadi enggak bisa ikut main sama kita,” kataku bohong.

“Ooh.”

Satu lagi yang aku suka dengan Daud, dia tidak terlalu cerewet seperti anak kecil kebanyakan. Dia memang pendiam dan tidak banyak tanya. Dari kejauhan terlihat sebuah taksi yang melaju cepat ke arah mereka, dan berhenti tepat di depan rumahku. Dari sana, Sabrina turun.

“Hai Daud!” sapa Sabrina.

“Hai,” kata Daud sambil melambai-lambaikan tangannya.

“Sudah siap main belum?”

“Sudah!” katanya bersemangat.

“Ya udah, kalau begitu kita jalan sekarang aja yuk!” Sabrina menggandeng tangannya, dan memberikan tanda kepadaku untuk menyiapkan mobil. Sepanjang perjalanan, Daud dipangku Sabrina. Sabrina menanyakan banyak hal pada Daud seperti dia suka makan apa, dia suka warna apa, dan yang lainnya. Aku menikmati keadaan seperti ini. Inilah keluarga yang utuh.

“Wud, kata Papa kamu, kamu pengen banget sekolah ya?”

“Iya. Aku pengen belajar gambar kayak Gilang.”

“Kamu tau enggak, sebentar lagi kamu bisa sekolah.”

“Yang bener? Asyiiiik!”

“Tapi kamu harus janji, kamu harus belajar yang benar.”

“Siap, Bos!”

Mereka tertawa. Daud harus bersyukur memiliki ibu yang bisa membiayainya sekolah. Dan aku juga senang, Daud bisa mengenyam pendidikan seperti orang-orang lainnya.

“Eh, liat deh. Papa kamu serius banget nyetirnya,” bisik Sabrina pada Daud.

“Jangan digangguin, kak. Papa suka marah kalau aku gangguin. Dia bilang mobilnya bisa tabrakan,” jelas Daud, yang membuatku dan Sabrina tertawa. Anak ini memang pintar.

Kami datang pada saat yang tepat. Dufan tidak terlalu ramai karena bukan hari libur. Setelah membayar tiket, Daud sudah tidak sabar untuk ingin bermain. Dia menarik tangan Sabrina dan membawanya ke beberapa permainan yang dia gemari, seperti komedi putar, cangkir yang berputar. Selain itu kami juga main perang bintang dan arum jeram. Rupanya Daud suka sekali basah-basahan. Untung aku sudah menyiapkan baju ganti, jadi enggak perlu takut untuk masuk angin.

Yang terakhir, kami naik bianglala. Dan disanalah kami akan mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Saat itu hari sudah sore, dan dari jauh sana bisa terlihat matahari yang mulai terbenam. Pemandangannya benar-benar saat indah.

“Daud. Ini buat kamu,” seru Sabrina sambil memberikan sebuah kado kepada Daud.

“Selamat ulang tahun ya,” kataku sambil mencium pipinya, dan juga Sabrina. Pipi Daud memerah. Dia malu, tapi senang.

“Dibuka dong hadiahnya,” kataku. Daud membukanya dengan semangat. Isinya adalah sebuah mainan robot.

“Dapet robot, Pa!”

“Bilang apa sama Kakak?” aku mengingatkannya.

“Terima kasih Kak Sabrina,” jawabnya manis sambil malu-malu.

“Sama-sama Daud. Kita foto yuk.”

Saat kami sedang diatas, Sabrina mengambil gambar kami, dan dia berjanji akan memberikannya kepadaku nanti. Aku akan memajang gambar itu di kamar tidur, agar Daud selalu bisa mengingat moment itu. Setelah turun dari bianglala, Sabrina membelikannya es krim. Daud senang sekali makan es krim, apalagi Sabrina yang menyuapinya. Sebelum pulang ke rumah, kami mampir sebentar di toko kue dan membeli sebuah kue kecil dan menaruh lilin dengan angka 6 diatasnya. Kami bernyanyi lagu happy birthday dan menyuruh Daud untuk meniup lilinnya. Kami mendoakan agar Daud selalu menjadi anak yang baik dan sukses di masa yang akan datang. Lalu, kami baru pulang.

Karena sudah capek seharian bermain dengan kedua orangtuanya, Daud pun tertidur di dekapan Sabrina. Dia terus memegang robot pemberian Sabrina dari sejak Sabrina memberikannya.

“Gie, terima kasih ya buat hari ini. Aku senang.”

“Kita semua senang, Sab. Akhirnya kita bisa kumpul lagi.”

Tiba-tiba perasaan canggung itu muncul lagi. Entah mengapa, jika ada Daud, semuanya itu hilang. Tetapi karena anak itu sekarang sedang tidur, perasaan itu ada lagi.

“Besok kamu pulang?”

“Iya. Pesawatku jam 10.”

“Perlu kuantar?”

“Enggak usah. Kamu kuliah kan? Jangan bolos hanya gara-gara aku.”

Kalau itu maunya, akan aku turuti. Dia memintaku untuk pulang ke rumahku karena dia ingin tidur dengan Daud. Besok pagi-pagi sekali, dia baru pulang. Sabrina terus membelai kepala Daud dengan sayang layaknya seorang ibu. Hari ini dia telah menjadi ibu yang baik. Sementara itu, aku tidur di sofa di depan TV, dan mengingat kembali semua yang aku lakukan dengan Sabrina dan Daud hari ini.

***

Aku terbangun saat Sabrina keluar dari kamar. Semalaman aku tidak terlalu terjaga, atau dengan kata lain aku tidak benar-benar tidur. Jam menunjukkan pukul 04:30 pagi.

“Kamu mau pulang?”

“Ya. Aku sudah pesan taksi kemarin, sebentar lagi datang.”

Dia menangis. Dia memelukku. Sudah lama aku tidak memeluknya. Ingin rasanya aku kembali seperti dulu, disaat kami masih menjadi pasangan ter-mesra sewaktu SMU.

“Sampai kapanpun aku tetep sayang sama kamu,” bisik Sabrina dan mencium pipiku. Setelah itu dia pergi ke kamar Daud. Dia mencium kening Daud yang masih terlelap—untuk yang terakhir kalinya.

“Bye Daud, kita pasti bisa ketemu lagi. Mama selalu sayang kamu.”

Aku berusaha untuk tidak menangis, tetapi aku tidak bisa. Aku tidak tahan melihat perpisahan yang menyedihkan ini. Berpisah dengan ibu memang menyakitkan. Aku sudah merasakannya. Kini bukan hanya aku, tetapi Daud juga. Mungkin Sabrina tidak akan kembali, karena sebentar lagi dia akan menikah dan memiliki keluarga baru disana.

Suara taksi itu mengagetkan aku. Itu tandanya Sabrina akan segera pergi. Dengan berat hati, Sabrina menutup pintu kamar, dan berjalan keluar.

“Sab,” kataku sebelum dia masuk ke dalam taksi. Dia menoleh ke arahku.

“Semoga kamu bahagia.” Akhirnya, aku menangis di depannya. Dia menghampiriku dan memelukku lagi, untuk yang terakhir, sebelum dia menjadi milik orang lain. Aku sudah merelakannya.

“Kamu juga.”

Setelah itu dia pergi.

Kenangan beberapa hari bersama Sabrina benar-benar mengobati lukaku saat aku ditinggalkan dulu. Sekarang aku akan menjadi single parent yang terbaik untuk Daud. Suatu saat nanti, Daud pasti bisa mendapatkan ibu yang baik seperti Sabrina. Kuharap, Sabrina juga tidak melupakan hari-hari itu. Aku menerima foto kami bertiga saat di bianglala beberapa minggu kemudian. Sabrina menyertakan surat yang isinya mengatakan bahwa aku dan Daud harus bahagia, seperti dirinya. Dan aku yakin kami pasti bisa.

Selasa, 29 Juli 2008

My future plans..

Apa yang akan gue lakukan setelah lulus SMU?

1. Kuliah. Di UNTAR dengan jurusan Jurnalistik. Dengan begitu, gue bisa mengembangkan hobi nulis gue dan mencari pekerjaan di bidang itu.
2. Les bahasa Inggris, supaya gue bisa tambah jago, lancar cas cis cus sama orang bule
3. Belajar masak, untuk mempersiapkan menjadi ' a good future wife'
4. LIBURAN! menghabiskan uang untuk balas dendam karena waktu liburan gue dihabiskan dengan belajar untuk ujian dan MB..

Favorit Musician

I've got Jonas Brothers here..


Band asal negeri Paman Sam ini baru dibentuk tahun 2005, dengan 3 personil yang tiga-tiganya adalah kakak beradik. Mereka adalah Paul Kevin Jonas (Kevin), Joseph Adam Jonas (Joe) dan Nicholas Jerry Jonas (Nick).
Ketiganya berbakat di bidang musik. Kevin pada gitar dan backing vokal, Joe pada vokal dan Nick pada gitar dan vokal.

Jonas Brothers sudah menunjukkan eksistensinya di bidang musik dengan keberhasilannya meluncurkan tiga album yang memuat beberapa single dan lagu-lagu yang digandrungi oleh sebagian dari remaja wanita di USA, atau bahkan di sebagian Eropa dan Asia.

Channel TV milik Walt Disney Corporation (Disney Channel) cukup membantu untuk mentenarkan nama mereka. Kini, mimpi dari ketiga kakak-beradik ini menjadi kenyataan. Mereka menjadi sangat terkenal, dan memiliki penghasilan yang besar dari hasil konser yang hampir setiap kali diselenggarakan.

Tidak cukup hanya bermain musik saja, The Jonas Brothers juga ikut merambah di dunia akting. Mereka muncul di sebuah film pendek karya Disney Channel berjudul "Camp Rock" yang akan ditayangkan di Asia pada bulan September mendatang.

Senin, 28 Juli 2008

At last...

Akhirnya, blog ini bisa terbuka lagi.
Padahal baru bulan lalu terakhir buka, tapi gara-gara kesalahan teknis pada ingatan gue, akhirnya gue lupa akan e-mail mana yang gue pake dan passwordnya apa.
Stlah dapat pencerahan, akhirnya berhasil dibuka lagi!!
Yess..