Kamis, 14 Agustus 2008

Cerpen #4

I Love You, Kak Jo


“Wi, lo dicari sama kakak kelas yang namanya Jo. Katanya sih penting.” Tessa menyampaikan pesan itu kepada Tiwi saat Tiwi baru saja sampai di kelas.

“Oh, di kelasnya?”

“Enggak. Katanya sih di atap. Ih, emang deh, gue denger-denger, kakak kelas yang satu itu suka banget menyendiri di atap. Hati-hati lho, Wi. Jangan-jangan dia pyscho.”

“Jangan sembarangan lah..” kata Tiwi, lalu Ia bergegas pergi ke atap.

Tiwi memang sudah mengenal Jo sejak lama. Jo adalah teman main abangnya yang sekarang sudah pindah ke luar kota karena sempat tinggal kelas. Abang Tiwi-lah yang mengenalkannya pada Jo. Ketika sampai di atap, Tiwi menemukan Jo sedang asyik memotret pemandangan dari atas gedung sekolah. Di bawah sebelah kanan ada lapangan basket, sedangkan di depan dan sebelah kiri bawah, ada banyak pohon-pohon dan pemukiman penduduk. Memang, disana udaranya sejuk, dan jauh dari keramaian.

“Kak Jo.” panggil Tiwi. Jo langsung menghentikkan pekerjaannya itu dan menoleh ke arah Tiwi.

“Eh, rupanya sudah datang.”

“Ada apa, Kak? Katanya kakak memanggil aku.”

“Memang. Gue cuma pengen lo menemani gue saja.” kata Jo, sambil mengarahkan kameranya ke wajah Tiwi. Tiwi yang banci kamera langsung berpose.

“Cantik.” seru Jo, sambil memperhatikan hasil fotonya.

“Coba senyum lagi.” Kini Jo bagaikan fotografer sedangkan Tiwi adalah modelnya.

“Wi, kamu foto genik, ya?” Pujian Jo itu membuat Tiwi tersipu malu.

“Masa sih, Kak?”

Memang sih, Tiwi memiliki bentuk badan yang indah. Dia ramping dan tinggi. Kakinya juga panjang dan mulus.

“Gue enggak heran, kalau banyak yang tertarik sama lo.”

“Termasuk kakak?”

“Gue? Hmm...gimana ya?”

“Kak Jo, jangan semua omonganku kakak nggap serius dong.”

Tiwi berjalan mengitari atap sekolah itu. Ia merentangkan tangannya, merasakan angin yang menerpa wajahnya, menerpa rambutnya yang hitam dan panjang. Ia merasakan indahnya pagi. Ia merasakan keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam yang begitu indah. Dimana pada saat yang sama, Jo terus memotretnya. Sudah tidak terhitung berapa banyak koleksi foto Tiwi yang dimiliki Jo. Dia memang gemar memotret gadis itu. Tiwi memang manis. Wajahnya tidak akan pernah bosan untuk dilihat.

“Sebentar lagi bel berbunyi.” kata Tiwi mengingatkan.

“Tak peduli. Gue mau tidur. Kemarin gue begadang nonton bola.”

“Salah sendiri.”

“Makanya sekarang waktunya untuk tidur. Sini dong, Wi. Duduk di sebelah gue.”

Tiwi mengikuti perintah Jo untuk duduk di sebelahnya, menyender pada sebuah papan besar di sebelah tangga. Jo merebahkan kepalanya di pundak Tiwi dan membiarkan Tiwi mengambil kameranya.

“Kak, bel sudah berbunyi.”

“Biar saja. Lo jangan pergi.” suara Jo melemah. Dia sudah mulai terjaga. Sebenarnya Tiwi tidak mau ketinggalan pelajaran. Tetapi meninggalkan kakak kelasnya itu tidur sendirian di atas atap lebih tidak berperasaan lagi. Maka Ia memilih untuk tetap berada di atap.

***

Karena bosan, Tessa pura-pura izin ke toilet. Padahal sebenarnya dia itu mau ngobrol sama pacarnya, Ferdi, yang lebih senior daripadanya. Mereka sudah janjian terlebih dahulu untuk bertemu di kebun belakang sekolah yang sepi akan guru dan karyawan.

“Aneh deh. Dari tadi pagi sampai sekarang, Tiwi itu belum balik. Jadi ceritanya, tadi pagi dia dipanggil sama kak Jo supaya ketemu di atas atap.”

“Pantesan, si Jo juga menghilang, padahal tas-nya ada.” kata Ferdi, teman sekelas Jo.

“Yang namanya Jo itu memang suka menyendiri ya?”

“Yep. Dia kurang banyak bergaul sama kita-kita. Dia lebih suka sendirian dan hobinya fotografi. Aku rasa obsesinya itu Tiwi deh.”

“Fer, apa mungkin mereka ‘begituan’ di atas sana?”

“Pikiran kamu jorok banget sih. Aku rasa sih enggak. Jo itu kan suci.”

“Terus, mereka ngapain aja di sana lama banget?”

Ferdi mengangkat bahunya. “Kita lihat aja.”

Usul Ferdi ditanggapi Tessa dengan baik. Mereka berdua diam-diam pergi ke atap untuk melihat apa yang dilakukan oleh Tiwi dan Jo.

“Yee..mereka malah tidur.” Tessa menghampiri dua orang itu yang sedang terlelap bersama. Ia mengambil kamera Jo yang ada di tangan Tiwi, lalu memotretnya.

“Pasangan yang manis. Bisa jadi gosip nih.”

“Hei, don’t be a bad girl. Kamu kan sudah diperingati jangan membuat gosip yang aneh-aneh lagi sama kepala sekolah. Lupa ya?”

“Yaya, just kidding, babe. Mereka kita tinggali saja?”

“Ya udah. Enggak enak membangunkan orang yang sedang mimpi indah.”

***

Bagi Tiwi, Jo adalah segalanya. Dia merupakan Arjuna yang selama ini dicarinya. Kak Jo punya banyak kecocokkan dengan Tiwi. Mereka sama-sama suka menghabiskan waktu di rumah dengan menonton dvd ketimbang menghabiskan uang untuk membeli baju atau sepatu. Mereka suka jalan-jalan dan makan yang banyak. Sebelum abang Tiwi pindah ke luar kota, Jo sering menginap di rumah mereka. Di sanalah Tiwi banyak menghabiskan waktu bersama Jo. Main bulu tangkis, main gitar, atau hanya sekedar mengobrol di teras rumah. Tetapi sekarang sudah jarang. Bunda enggak suka ada cowok yang menghampiri Tiwi di rumah, takut mereka macam-macam dengan putrinya itu. Maka, Tiwi dan Jo hanya bisa bertemu di sekolah.

Pada hari itu, mereka berdua bolos. Mereka meminta Tessa dan Ferdi untuk membawakan tas mereka dan mereka kabur. Jo memboncengi Tiwi dengan motornya, lalu mereka pergi. Mereka malah nonton di Ciwalk, kebetulan ada film romantis yang sedang diputar. Tiwi sangat mengharapkan kak Jo juga memperlakukannya dengan romantis. Ternyata benar. Beberapa saat kemudian, kak Jo memegang tangannya. Tiwi menjadi tegang.

“Wi, lo kedinginan ya?” tanya Jo, yang merasa kalau tangan Tiwi dingin.

“Sedikit sih, Kak.” Saking tegangnya, suara Tiwi terdengar terbata-bata seperti robot yang berbicara. Jo mengeluarkan jaketnya dan menyampirkannya pada Tiwi. Dia pun merangkul tubuh Tiwi. Wajah Tiwi kian memerah, seperti crabby yang ada di spongebobsquarepants. Semalam, Tiwi bermimpi, Jo menembaknya. Apakah mungkin hari ini mimpi itu akan menjadi kenyataan?

“Tiwi..” bisik Jo.

“Iya?” Tiwi mulai deg-deg-an. Dia menunggu apa yang akan diucapkan Jo. Jangan-jangan dia mau..

“Gue...kebelet. Sori, gue ke WC dulu.”

GUBRAK. Kirain... padahal Tiwi udah ke-GRan duluan.

“Oh, oke.” seru Tiwi malu.

Setelah keluar dari bioskop, entah mengapa Jo terus menggandeng Tiwi. Belum jadi pacar saja sudah mesra seperti itu, apalagi kalau sudah jadi pacar? Dia membelikan Tiwi Starbuck’s ice coffee dan mentraktir makan di sebuah restoran. Apakah ini tahap pendekatan Jo selanjutnya?

“Kak Jo, aku mau nanya.” kata Tiwi memberanikan diri saat menantikan makanan yang dipesan.

“Tanya aja.”

“Kak Jo punya pacar?” Straight to the point.

“Punya.”

Hati Tiwi mencelos. Dia punya pacar?? Terus apa maksudnya mendekati gue?

“Tapi udah putus, setahun yang lalu.”

“Hah? Udah putus?” Rasanya Tiwi ingin berteriak YESS sekeras mungkin. Sekarang hatinya

sudah lega.

“Kenapa memangnya?”

“Enggak apa-apa.”

Jo tertawa.

“Lo lucu deh.”

“Boleh tanya yang lain?”

“Boleh.”

“Kenapa Kak Jo suka banget sendirian?”

Jo terdiam. Dia mengaduk-aduk minumannya. Tiwi merasa bersalah telah menanyakan hal itu.

“Karena sendiri itu lebih enak. Gue enggak suka keramaian.”

Tiwi mengangguk. Jadi itu alasan Jo suka sekali menghindar.

“Wi, besok kita kencan yuk? Gue jemput lo jam 7 malam, oke?”

Tawaran Jo itu langsung diterima oleh Tiwi tanpa berpikir panjang. Malam harinya, Tiwi duduk termenung di depan lemari pakaiannya. Dia terlalu bingung untuk memilih pakaian yang paling pas untuk digunakannya besok. Dia mau terlihat cantik di depan Jo. Dia sudah memiliki firasat, jangan-jangan Jo mau menembaknya. Tiwi tertawa-tawa sendiri dan mulai membayangkan saat-saat dimana dia telah menjadi pacarnya Jo. Dia pasti akan menjadi wanita yang paling bahagia di muka bumi ini.

Esok harinya selama di sekolah, Tiwi begitu semangat mengikuti pelajaran. Hatinya sedang berbunga-bunga. Tessa yang duduk di sebelahnya begitu heran.

“Lo kenapa, Wi? Senyum-senyum terus daritadi?”

“Nanti malam gue mau kencan sama kak Jo.”

“HAH?” Tessa berteriak. Satu kelas meliriknya semua.

“Sori..” Tessa cekikikan sendiri dan ikut-ikutan excited, seperti halnya Tiwi.

“Jangan-jangan lo mau ditembak lagi?”

“Pengennya sih begitu.”

“Kabar-kabarin ya, Wi!”

“Siip.”

Semuanya telah dipersiapkan dengan baik. Mulai dari pakaian, tatanan rambut, sepatu, hingga make-up. Tiwi yang biasanya malas untuk berdandan, demi kencan pertamanya, dia rela berdandan. Dia menjadi seperti seorang cinderella yang tengah menantikan pangerannya tiba. Tidak lama kemudian, mobil Jo datang. Jo malam itu nyaris sempurna. Dia begitu rapi, dan sisi maskulinnya terlihat dengan jelas. Dia membukakan pintu untuk Tiwi dan mempersilahkannya untuk masuk. Tiwi tidak berhenti terus menatap Jo yang sedang menyetir.

“Kenapa sih? Ada yang aneh ya dengan wajah gue?” tanya Jo, yang sadar akan tatapan Tiwi.

“Enggak. Malam ini kak Jo ganteng.” kata Tiwi, dengan jantung yang sudah hampir keluar.

Ternyata Jo membawanya ke sebuah restoran bernama Kampung Daun. Tempatnya begitu romantis. Makan di pondok-pondok yang ada di pinggiran jalan menanjak. Ada air terjun dan lampu-lampu indah yang menggantung di atas, dan tempat itu beratapkan langit yang indah. Jo membawa Tiwi naik hingga sampai ke puncak, dan di sana ada sebuah pendopo yang besar. Tiwi senang sekali dengan tempatnya. Dia belum pernah diajak ke sana.

“Jadi, gimana perasaanmu? Senang enggak?”

“Senang, kak.” Tiwi mengangguk semangat.

“Makanan disini juga enggak kalah enaknya lho dengan makanan yang kemarin kita makan di Ciwalk.”

“Iya. Aku belum pernah ke sini.”

“Wah, berkesan dong. Pergi pertama kali ke sini ama gue.”

Tiwi mengangguk lagi. Dia enggak mau moment ini cepat-cepat berakhir. Semua makanan terasa enak. Mereka saling mengobrol. Tiwi pun menunggu, kapan Jo akan mengungkapkan isi hatinya. Namun, sampai akhir acara makan malam, dan bahkan sampai Jo membawanya kembali pulang ke rumah, Jo tidak berkata apa-apa. Jo hanya mengucapkan ‘selamat malam, semoga tidur nyenyak.’ tanpa ada embel-embel lain. Ada perasaan kecewa yang mendalam yang dirasakan Tiwi. Dia sudah banyak berharap sebelumnya. Memang, kak Jo sangat romantis malam itu. Dia memberikan sekotak coklat kesukaan Tiwi dan mengajaknya untuk makan malam di tempat yang menakjubkan. Tetapi bukan itu yang Tiwi inginkan. Semuanya itu membuat Tiwi berpikir ulang. Mungkin Jo belum siap. Tidak mudah untuk menyatakan cinta pada seseorang. Akhirnya Tiwi pun memaafkan Jo di dalam hatinya.

***

Keesokan harinya di sekolah, Tiwi tidak menemukan Jo. Dia mencari Jo di tempat-tempat yang biasa Jo datangi, tetapi tidak ada. Tiwi bahkan mencari di sekeliling sekolah, kak Jo bagaikan hilang di telan bumi. Anak-anak sekelasnya mengatakan Jo tidak masuk hari itu, katanya sakit. Pulang sekolah, Tiwi berencana untuk menjenguknya. Dia menyempatkan diri untuk pulang ke rumah dan memasak makanan untuk Jo, dan disimpannya di dalam rantangan. Tiwi sudah pernah pergi ke rumah Jo, sehingga dia tidak perlu salah jalan.

“Permisi, kak Jo-nya ada?” tanyanya pada pembantu Jo yang membukakan pintu rumah.

“Ada di kamarnya. Mbak langsung naik saja.”

Tiwi naik ke kamar Jo yang terletak di lantai dua dengan hati-hati. Dia memang belum pernah sendirian datang ke rumah itu, karena dulu dia datang bersama abangnya. Dia melihat kamar Jo yang terletak di pojok, dan pintunya terbuka.

“Kamu sakit, Jo?”

Tiba-tiba Tiwi mendengar sebuah suara yang berasal dari kamar Jo. Berarti ada orang lain disana. Dengan cepat, Tiwi menghampiri kamar itu dan melongok di pintu kamarnya.

“Iya, Van. Enggak tau kenapa tadi pagi kepalaku pusing banget, makanya aku telepon kamu.”

“Jadi ceritanya kamu minta aku yang temenin?”

“He-eh.”

“Kenapa enggak suruh...siapa namanya? Tiwi?”

Tiwi kaget mendengar namanya disebut.

“Tapi, pacarku itu kan kamu, bukan Tiwi.” seru Jo.

Laki-laki yang dari tadi bersama Jo itu berciuman bibir dengan Jo. Lantas, rantang makanan Tiwi lepas dari tangannya dan menimbulkan suara yang mengagetkan Jo dan laki-laki itu.

“Tiwi?” kata Jo, kaget setengah mati saat melihat Tiwi yang berdiri kaku di ambang pintu kamarnya.

Tiwi menangis, wajahnya memerah. Dia syok dengan apa yang dilihatnya. Begitu Jo mau menghampirinya, dia lari. Dia lari keluar dari rumah Jo. Dia enggak peduli dengan Jo yang berteriak memanggil namanya dari belakang. Ya Tuhan, jadi, cowok yang selama ini dicintainya adalah seorang homosexual.

***

Sesampainya di rumah, Tiwi mengurung dirinya di kamar. Dia menangis sepuas-puasnya disana. Dia merasa telah dibohongi oleh Jo. Selama ini, Jo selalu memberikan harapan padanya, tetapi mengapa Jo tidak pernah memberitahu yang sebenarnya? Tiwi sudah terlanjur mencintainya.

“Bunda, papa, atau siapapun di rumah ini juga, kalau ada yang menelepon aku atau bahkan datang ke sini mau ketemu aku, namanya Jo, bilangin sama dia aku enggak ada.” kata Tiwi berpesan saat makan malam. Awalnya, Tiwi enggak mau makan, tetapi bundanya terus memaksa.

“Memangnya kenapa?” tanya Bunda tidak mengerti.

“Kalau memang ada urusan penting, kamu tetap enggak mau ketemu?” Papa meyakinkan lagi.

“POKOKNYA BILANG AKU ENGGAK ADA!” jawab Tiwi ketus, lalu meninggalkan piring makanannya yang masih setengah utuh. Bunda dan papa menggeleng-geleng.

“Ya sudah, turuti saja apa katanya.” perintah Bunda pada Mbok Ijah dan Mbok Sumi yang merupakan pembantu Tiwi.

***

Berkali-kali handphone Tiwi berbunyi, semuanya dari Jo. Tidak ada satupun panggilan yang dijawab oleh Tiwi. Biar saja Jo meneleponnya sampai capek.

“Non Tiwi!” seru Mbok Ijah menggedor pintu kamar Tiwi.

“Kenapa?”

“Itu, di depan, ada temennya.” kata si Mbok.

Teman?

Tiwi buru-buru melongok dari jendela kamarnya. Di bawah sana, Jo sedang berdiri di depan pagar rumahnya.

“Mbok, itu si Jo. Bilang aja aku udah tidur. Cepetan!” perintah Tiwi. Mbok Ijah langsung mengikuti perintah majikannya itu. Dari jendela kamar, Tiwi memperhatikan Mbok Ijah yang sedang berbicara pada Jo. Tiba-tiba Jo mendongak ke atas, tepat ke arah kamar Tiwi. Cepat-cepat Tiwi langsung menutup tirainya dan membenamkan diri di antara bantal, guling dan boneka-bonekanya.

***

Butuh perjuangan yang keras untuk menghindari Jo di sekolah. Saat pagi dan istirahat, Tiwi bersembunyi di toilet perempuan, dan saat pulang sekolah, dia cepat-cepat naik ke mobil agar tidak bertemu dengan Jo. Tessa yang sudah mendengar cerita pilu Tiwi pun ikut melancarkan usaha pelarian diri Tiwi dari Jo. Rasanya enggak enak, mau belajar tapi malah tidak tenang, serasa diteror. Tetapi akhirnya Jo berhasil menemui Tiwi. Saat Tiwi keluar dari toilet setelah bel istirahat berbunyi, Jo—yang sudah menunggunya di depan toilet—langsung menarik tangan Tiwi dan membawanya ke atas atap. Tiwi terus meronta-ronta minta dilepaskan, tetapi sayangnya tenaga Jo jauh lebih besar.

Dan akhirnya, Jo melepaskan tangan Tiwi saat sudah sampai di atap. Tiwi sama sekali tidak mau menatap Jo.

“Tiwi, liat gue.”

“Enggak mau.”

“Wi, tolong lo kasih gue kesempatan untuk ngomong sebentar aja. Gue udah terlalu capek untuk mencari lo yang selalu menghindar.”

Tiwi diam. Dia memperhatikan jam tangannya.

“Waktu kamu cuma lima menit.” jawab Tiwi dengan penuh amarah.

“Oke. Gue mengaku. Gue memang salah sama lo. Selama ini gue selalu bersikap seakan-akan gue mendekati lo dan memberikan harapan untuk lo, gue minta maaf. Dari sejak awal kita ketemu, gue selalu mencoba untuk mencintai lo. Gue memperlakukan lo seperti lo adalah pacar gue, lo adalah orang yang harus gue cintai. Gue pengen merubah diri gue, gue pengen mencintai wanita. Tapi, sekeras apapun gue berusaha, tetap aja gue enggak bisa. Gue tetaplah seorang Jo yang harus menerima nasib sebagai homosexual.

Gue suka menghindari keramaian karena gue selalu pengen deket sama lo. Gue pengen menjadikan lo sebagai seseorang yang bisa mengatasi segala kesepian gue. Lo memang berhasil menghibur gue, tapi entah kenapa, perasaan gue sama lo hanya sebatas seperti abang sayang sama adiknya. Gue suka memotret lo, dengan harapan gue bisa jatuh cinta sama lo. Tetapi, wajah lo selalu kalah dengan bayang-bayang Evan.

Lo harus tau, gue berjuang mati-matian untuk mencoba kencan dengan lo. Gue berusaha membangun hubungan se-romantis mungkin. Gue berusaha untuk menembak lo, tapi sampai akhir pun nyali gue enggak ada. Gue enggak yakin bisa bener-bener mencintai lo dari hati. Akhirnya gue nyerah, gue enggak mau membuat lo sakit hati nantinya kalau kita sudah jadian.”

Jo menarik nafas, untuk mengumpulkan seluruh tenaganya lagi.

“Cowok kemarin, namanya Evan. Dia memang pacar gue, sejak tahun lalu. Lo pernah tanya apakah gue punya pacar atau belum. Dulu gue pernah pacaran sama seorang cewek, tapi itu hanya bertahan selama seminggu. Habis itu, Evan datang. Dialah yang terbaik untuk gue. Maaf, Tiwi. Sampai kapanpun, gue enggak bisa mencintai lo.” kata Jo. Dia menantikan respon Tiwi, tapi gadis itu hanya diam terpaku.

“Wi, tolong katakan sesuatu.” pinta Jo.

“Aku kecewa sama kakak.”

Jo mengangguk. Dia mengerti perasaan Tiwi. Tiwi pasti begitu sakit.

“Gue akan pergi. Gue akan pergi dari hidup lo.”

Jo mengambil kameranya yang ada dari dalam tasnya. Dia membuang filmnya jauh-jauh, dan membanting, menginjak, dan menendang hingga kameranya rusak.

“Dengan begini kenangan kita udah enggak ada. Lo bisa melupakan gue. Anggaplah lo enggak pernah kenal sama orang sejahat gue.”

Tiwi bisa melihat, diam-diam Jo juga menangis.

“Jaga diri lo. Gue tau, lo adalah cewek yang baik. Masih banyak cowok yang lebih pantas mendapatkan lo daripada gue.” kata Jo, lalu dia meninggalkan Tiwi.

“Kak Jo!! I love you..” teriak Tiwi sekencang-kencangnya, tidak peduli apakah Jo mendengarnya atau tidak. Yang penting, dia telah mengungkapkan perasaannya selama ini. Jo telah memutuskan untuk tidak muncul lagi dihadapannya, karena itu hanya menyiksa Tiwi. Tiwi tidak bisa mendapatkan balasan cintanya dari Jo.

Beberapa hari kemudian, Tiwi mendengar bahwa Jo telah pindah sekolah ke luar kota. Jo memang benar-benar serius untuk pergi dari hidup Tiwi. Tiwi juga tidak pernah menghubunginya lagi. Dia belajar satu hal, bahwa tidak boleh mencintai seseorang secara terpaksa. Jo telah meninggalkan Tiwi karena dia tau dia tidak mungkin pernah bisa membahagiakan Tiwi. Walaupun tidak ada lagi foto-foto, tetapi kenangan bersama Jo masih tersimpan di benak Tiwi.

Cinta itu, tidak selamanya bisa memiliki..

Tidak ada komentar: